ASKEP Cidera Kepala Ringan, Sedang, Berat


1. Definisi

Cedera Kepala Sedang adalah merupakan pendarahan kecil/ptechi pada jaringan otak akibat rusaknya jaringan saraf atau otak yang akan menimbulkan edema jarinagan otak sekitarnya. Bila daerah yang mengalami edema cukup luas akan terjadi peningkatan tekanan intra kranial (TIK) . TIK dapat menimbulkan herniasi serebri yang mengakibatkan penekanan batang otak. Bila edema mengenai batang otak akan menyebabkan fatal. (Fahria. T, 2007 : 48)


2. Etiologi


Berdasarkan mekanisme trauma (menurut Arief Mansjoer 2002 : 4)
a. Trauma Tumpul : dapat berupa tabrakan mobil, jatuh dan terpukul
b. Trauma Tajam : cedera peluru, cedera tembus lain.

Berdasarkan kronologis, yaitu :
1) Primer : langsung karena benturan pada kulit kepala, tengkorak dan isi tengkorak.
2) Sekunder : akibat lanjut dari benturan berupa edema otak, peninggian tekanan intra kranial, herniasi dan lain-lain.


3. Patofisiologi

Berdasarkan Noerjanto, M (2006 : 45). Cedera kepala secara patologi dibagi atas primer dan sekunder yang biasanya terjadi tersendiri ataupun bersamaan.
Cedera kepala primer bisa terjadi fokal yang menyebabkan perlukaan pada kulit, retak dan pecah tulang tengkorak, laserasi dan kontusio jaringan otak serta robekan pembuluh darah.
Cedera primer difus terjadi karena gangguan atau kerusakan sel dan serabut akson yang menyeluruh ditandai dengan penurunan kesadaran sewaktu atau berlangsung lama lebih dari 6 jam.

Beberapa penyebab lain :

a. Tekanan intra kranial
Berbagai proses patologi yang mengenai otak mengakibatkan kenaikan tekanan intra kranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak dan akan mempengaruhi kesembuhan klien.

b. Doktrin moroe-kellie
Konsep utamanya adalah volume tekanan intra kranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar.

c. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
TPO = TAR = TIK
TAR : Tekanan Arteri Rata – rata.

Pada keadaaan Tekanan Intra Kranial yang tinggi ternyata sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang normal. Beberapa penderita tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah diatas normal untuk mempertahankan Tekanan Perfusi Otak yang adekuat.

d. Aliran Darah Orak
Adanya fenomena autoregulasi yang mempertahankan Aliran Darah Otak pada tingkat konstan pada penderita non trauma.
Hampir seluruh energi yang dihasilkan sel – sel saraf melalui proses oksidasi, otak tidak punya cadangan 02, kekurangan aliran darah ke otak walau sebentar menyebabkan gangguan fungsi otak. Bahan bakar utama otak adalah glukosa. Kebutuhan glukosa 25% dari seluruh kebutuhan tubuh. Bila kadar glukosa dalam plasma turun sampai 70 mg % maka akan terjadi gejala permulaan disfungsi cerebral. Bila kadar glukosa kurang dari 20% akan timbul koma.

Bila otak mengalami hipoxia, maka akan terjadi metabolisme glukosa an aerob yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan penimbunan asam laktat.
Dalam keadaan normal CBF (Cerebral Blood Flow) adalah 50 – 60 ml /menit /100 gram jaringan otak atau 15% dari cardiac output. Bila tekanan darah menurun pembuluh darah arteri kontriksi.

Apabila tekanan CO2 menurun maka aliran darah akan meningkat (vaso dilatasi) akan mengakibatkan alkalosis dan kontriksi arteri kecil serta peurunan Cerebral Blood Plow. Peningkatan tekanan CO2 menyebabkan aciodosis dan pelebaran pembuluh darah (Vasodilatasi) serta peningkatan jumlah perdarahan intra kranial yang berakibat peningkatan tekanan intra kranial.

Klasifikasi cedera kepala menurut Mansjoer Arief (2000 : 3), klasifikasi dibagi menurut tingkat keparahan yaitu :

- Ringan : Skala koma glasgow (Glasglow coma scale) 14 - 15
- Sedang : GCS 9 – 13
- Berat GCS = 3 – 8


4. Manifestasi Klinis / Gejala Klinik

a. Skor skala glasglow 9 – 13
b. Stupor
c. Konklusi
d. Amnesia pasca trauma
e. Muntah
f. Tanda kemungkinana fraktur kranium (tanda battle, mata kabur, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan sebrospinal)
g. Kejang

Skala coma Glasgow (GCS)

Respon membuka mata (E) :

Spontan : 4
Dengan Perintah : 3
Dengan rangsangan nyeri : 2
Tidak ada reaksi : 1

Respon Matorik terbaik (M) :

Mengikuti perintah : 6
Melokalisir nyeri : 5
Menghindari nyeri : 4
Fleksi abnormal : 3
Ekstensi abnormal : 2
Tidak ada gerakan : 1

Respon Verbal terbaik (V) :

Orientasi baik dan sesuai : 5
Disorientasi tempat dan waktu : 4
Bicara ngacau : 3
Mengerang : 2
Tidak ada suara : 1


5. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges, E. M (2002 : 272). Pemeriksaan penunjang pada pasien Comotio Cerebri ialah :
a. Radiologi : Foto rontgen kepala, cervikalis, MRI, EEG, CT Scan
b. Laboratorium
- Darah : Hb, Leukosit, LED, Ureum, Kreatinin, kadar alkohol darah.
- Urinalisa


6. Komplikasi yang mungkin Timbul

Menurut S, Markam (2002 : 52) Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien dengan Comutio cerebri ialah : meningkatkan tekanan intra kranial, perdarahan, kejang dan meningitis


7. Penatalaksanaan

A. Tindakan Pertama

Jalan nafas (air way), pernafasan (breathing), sirkulasi (circulation), pasang infus, periksa cedera kepala ditempat lain, periksa pupil, photo cervical, Intubasi dan pemeriksaan neurologis yang lebih terinci. (Mansdjoer Arief ; 2000 : 4)

B. Penatalaksanaan Lanjutan

10% dari penderita cedera kepala di IGD menderita cedera kepala sedang. Sebanyak 10 – 30 % dari penderita cedera kepala sedang mengalami perubahan jatuh coma. Oleh karena itu penderita cedera kepala sedang harus diperlakukan sebagi penderita cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan intubasi namun demikian Air Way harus selalu diperhatikan dan dijaga kelancarannya.

Cedera kepala sedang yang mengalami konklusi otak (Komotio otak) dengan skala Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Penderita dapat dipulangkan untuk observasi dirumah walaupun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intra kranial lanjut yang bermakna pada klien dengan cedera kepala sedang adalah minimal. (Menurut Mansdjoer Arief ; 2000 : 2)

8. Pengobatan

a. Dexamethason / Kalmethason
Sebagai pengobatan anti Edema serebral, dosis sesuai dengan berat atau ringan trauma.

b. Manitol
Dengan dosis 1 – 2,5 gr / BB, diberikan perinfus selesai dalam 1 jam dan efeknya terlihat setelah 15 – 45 menit dan bertahan dalam 6 jam

c. Gliserol dapat diberikan secara infus atau oral dosisnya 1 – 2 gr / kg BB, bila perinfus diberikan dalam larutan sebesar 10% dalam glukosa 5% diberikan 6- 8 jam / hari. Bila sadar dapat diberikan Gliseril peroral 3 X sehari.

d. Kontikosteroid
Preparat yang sering dipakai adalah dexamethason dan metil prednison, cara


9. Prognosis
Pada penderita anak – anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik pada penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan cedera kepala.


B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Adapun data dasar teoritis pengkajian pasien menurut Doenges E. Marilyn (2002 : 270-272) adalah :

a. Aktivitas / istirahat : Merasa lemah, lelah, kaku hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi, hemiparase, quadreplegia, ataksia cara berjalan, masalah dalam keseimbangan, cedera ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
b. Sirkulasi : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung.
c. Integritas / ego : perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis), cemas mudah tersinggung.
d. Eliminasi : inkontinensia kandung kemih atau mengalami gangguan fungsi
e. Makanan / cairan : Mual, muntah dan perubahan selera, muntah, gangguan menelan, batuk.
f. Neurosensori : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope ganguan pendengaran, gangguan pengecapan, perubahan kesadaran sampai koma.
g. Nyeri / kenyamanan : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi nyeri yang berbeda, wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, merintih.
h. Pernafasan : perubahan pola nafas,
i. Keamanan : trauma baru, trauma karena kecelakaan, fraktur, dislokasi, gangguan penglihatan.
j. Interaksi : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang.


2. Diagnosa Keperawatan

1. Diagnosa keperawatan menurut Doenges E. Marilynn (2002 : 273-282) adalah :

a. Resiko tinggi terhadap pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
b. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit neurologis.
c. Perubahan proses fikir berhubungan dengan konflik psikologis
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif.
e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.

3. Rencana Asuhan Keperawatan menurut Doenges E. Marilynn (2002 : 283 – 290)

a. Resiko tinggi terhadap pola nafas tak efektif
Kriteria Hasil mempertahankan pola pernafasan normal / efektif

Rencana tindakan :

1) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
2) Catat kompetensi refleks menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas sendiri. Pasang jalan nafas sesuai indikasi.
3) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan, posisi miring sesuai indikasi.
4) Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
5) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati – hati, jangan lebih dari 10 – 15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
6) Auskultasi suara nafas perhatikan suara nafas tambahan
7) Pantau penggunaan obat – obatan depresan pernafasan, seperti sedatif.
8) Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri.

Rasionalisasi :

1) Perubahan dapat menandakan perubahan komplikasi pulmonal atau menandakan liksi atau luasnya keterlibatan otak.
2) Kemampuan memobilisasi atau pembersihan sekresi penting untuk pembersihan jalan nafas.
3) Untuk memudahkan ekspansi paru / ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
4) Mencegah / menurunkan adanya atelektasis.
5) Dibutuhkan oleh pasien koma atau tidak bisa membersihkan jalan nafas sendiri.
6) Mengidentifikasi masalah paru seperti atelektasis
7) Dapat meningkatkan gangguan atau komplikasi pernafasan
8) Menentukan kecukupan pernafasan, keseimbangan asam basa.

b. Perubahan persepsi sensori
Kriteria hasil mempertahankan kembali atau mempertahankan tingkat kesadaran.

Rencana Tindakan :

1) Gunakan penerangan siang atau malam hari.
2) Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas.
3) Berikan keamanan terhadap pasien seperti memberi bantalan pengalas, pada penghalang tempat tidur.
4) Temukan cara lain untuk menanggulangi penurunan persepsi seperti mengatur hidup.
5) Rujuk pada ahli fisiotherapi.

Rasionalisasi :

1) Memberi perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola tidur/bangun.
2) Menurunkan frustasi tentang perubahan kemampuan / pola respon yang memanjang.
3) Agitasi, gangguan pengambilan keputusan gangguan keseimbangan dan penurunan sensorik meningkatkan resiko terjadi trauma pada pasien.
4) Pasien dapat meningkatkan kemandiriannya.
5) Menciptakan rencana terintegrasi.

c. Perubahan proses fikir
Kriteria Hasil mempertahankan orientasi mental seperti biasa.
Rencana Tindakan :

1) Kaji tentang perhatian, kebingungan, tingkat ansietas
2) Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan kepribadian / tingkah laku pasien sebelum mengalami gangguan.
3) Pertahankan bantuan yang kosisten oleh staf atau keberadaan staf sebanyak mungkin.
4) Usahakan untuk menghadirkan realitas secara kosisten dan jelas, hindari fikiran yang tidak masuk akal.
5) Berikan penjelasan tentang prosedur dan penyakit.
6) Jelaskan pentingnya melakukan pemeriksaan neurologis secara teratur dan berulang.

Rasionalisasi :

1) Rentang perhatian / kemampuan untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang potensi terhadap anxietas.
2) Masa pemulihan cedera meliputi fase agitasi, respon marah, dan proses fikir yang kacau.
3) Memberikan pasien perasaan yang stabil dan bisa mengontrol situasi.
4) Pasien mungkin tidak menyadari adanya trauma secara total atau dari perluasan trauma.
5) Kehilangan struktur internal, menimbulkan ketakutan baik terhadap pengaruh proses yang tidak diketahui maupun retensi terhadap informasi.
6) Pemahaman bahwa pengkajian dilakukan secara teratur akan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.

d. Kerusakan mobilitas fisik.
Kriteria hasil mampu mempertahankan fungsi optimal
Rencana Tindakan :

1) Periksa kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
2) Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan ( 0 – 4 ).
3) Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan, ubah posisi.
4) Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional, seperti bokong, kaki, tangan.
5) Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien berada pada kursi roda.

Rasionalisasi :

1) Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional
2) Mengetahui kekuatan mobilisasi pasien
3) Penyebaran berat badan dan sirkulasi keseluruhan bagian tubuh
4) Mencegah foot drop, bidai tangan bervariasi mencegaj deformaits.
5) Mempertahankan kenyamanan, keamanan, dan postur tubuh yang normal dan mencegah / menurukan resiko kerusakan kulit.

e. Resiko terhadap infeksi
Kriteria hasil mempertahankan bebas tanda infeksi

Rencana tindakan :

1) Berikan perawatan aseptis dan anti septik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi catat karakteristik dari drainage dan adanya inflamsi.
3) Pantau suhu tubuh secara teratur
4) Anjurkan untuk melakukan nafas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus.
5) Berikan perawatan perineal.

Rasionalisasi :

1) Cara pertama untuk menghindari infeksi nasokomial
2) Deteksi dini untuk mengetahui perkembangan infeksi
3) Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis
4) Menurukan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
5) Menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi bakteri atau infeksi yang merambah naik

f. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh.
Kriteria hasil nutrisi terpenuhi

Rencana Tindakan :

1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk atau mengatasi sekresi.
2) Auskultasi bising usus
3) Timbang berat badan sesuai dengan indikasi
4) Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, tinggikan kepala saat memberikan makanan.
5) Berikan makanan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dan teratur.

Rasionalisasi :

1) Faktor ini menentukan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindungi dari aspirasi.
2) Fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala.
3) Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi
4) Mengurangi resiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi
5) Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari perencanaan yang direncanakan oleh perawat, melaksanakan instruksi atau anjuran dokter, pelaksanaan rencana tindakan dimaksud agar kebutuhan klien terpenuhi dan masalah klien dapat teratasi secara maksimal yang mencakup aspek peningkatan pemeliharaan kesehatan dengan mengikut sertakan klien dan keluarga.

5. Evaluasi

Merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah tindakan terus menerus dan disengaja dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim kesehatan serta anggota keluarga. Tahap evaluasi dalam proses keperawatan yang menyangkut pengumpulan data subjektif dan objektif yang akan menunjukkan apakah tujuan tercapai atau belum. Tujuan evaluasi adalah memberikan umpan balik kepada rencana keperawatan, menilai dan meningkatkan mutu asuhan keperawatan yang diberikan serta standard hasilnya yang telah ditentukan terlebih dahulu.]

0 komentar:

Post a Comment